“Ummi, kita umrah akhir ramadhan sekaligus lebaran di Mekkah ya,” kata suami pada akhir Januari 2024.
Jangan tanya perasaan saya. Bahagianya luar biasa. Ucapan syukur tak hentinya saya lantukan kepada Allah. Ya Allah, alhamdulillah. Mendengar ajakan ini saja sudah membuat saya bahagia luar biasa. Apalagi jika benar saya bisa umrah akhir ramadhan dan lebaran di Mekkah?
MasyaAllah, nikmatnya luar biasa.
Tapi saya yang kala itu masih terikat sebagai karyawan teringat bahwa ini artinya saya harus cuti dan libur panjang. Ya, sekitar 19 hari. Lama juga. Tapi bismillah, suami sudah niat dengan melaksanakan umrah akhir ramadhan dan lebaran di Mekkah. Maka segala persiapan pun kami lakukan.
Dan waktu itu pun tiba.
Saya dan suami benar-benar bisa merasakan nikmatnya dan keberkahan merayakan lebaran di Mekkah. Alhamdulillah.
Beberapa hari sebelum lebaran tiba, sudah beredar informasi apa saja persiapan yang harus dilakukan dan suasana di Mekkah saat lebaran tiba. Termasuk informasi jika akan melaksanakan shalat Idul Fitri di Masjidil Haram maka harus berangkat dari hotel pada dini hari. Padahal jadwal shalat Idul Fitri sekitar pukul 06.00.
Suasana saat perjalanan ke Masjidil Haram saat lebaran
Salah satu alasan kenapa kami harus berangkat awal karena jarak dari hotel ke Masjidil Haram cukup jauh. Belum lagi malam harinya kami pulang shalat tarawih sudah tengah malam. Jadi otomatis baru tiba di hotel, istirahat sejam, lanjut lagi ke Masjidil Haram.
“Nggak usah berangkat sepagi itu. Kita shalat kalaupun di pelantaran jalan juga nggak papa,” kata suami. Saya ngotot ingin merasakan shalat di Masjidil Haram. “Kapan lagi, Bap kita shalat Idul Fitri di Masjidil Haram,” kata saya. Satu hal yang saya abaikan adalah kondisi suami saat itu tidak terlalu fit yang kemudian membuatnya jatuh sakit.
Suami mengalah dan kemudian saya dan suami pun berdua berjalan kaki menyusuri jalanan Mekkah. Perjalanan hari Rabu tanggal 10 April 2024 itu pun dimulai pada pukul 02.30. Suasana jalan yang kami lewatin bukanlah jalan utama. Tapi syukurlah ada banyak penerang lampu dan juga banyak jamaah yang sama-sama berjalan untuk menuju Masjidil Haram.
Suasana di luar Masjidil Haram jelang shalat Idul FItri
Kenapa nggak naik bus atau taksi ? Seingat saya, waktu itu disampaikan kalau bus pun tak beroperasi dini hari itu saat malam lebaran mengingat kemacetan yang akan ditimbulkan. Jalan kaki secara perlahan-lahan adalah pilihan terbaik.
Semakin mendekat di kawasan Masjidil Haram, banyak pertokoan yang telah buka dan menawarkan dagangannya. Benar-benar kehidupan yang tetap berjalan selama 24 jam! Kami berdua sama sekali tetap berjalan dan tidak berhenti untuk sekedar mampir di toko tertentu.
Bahkan beberapa kali setelah kami berjalan, para askar sudah menutupi jalanan untuk mencegah semakin ramainya jamaah yang hendak masuk ke kawasan Masjidil Haram. Apalagi dibawah jembatan utama sebelum masuk kawasan Masjidil Haram, penutupan jalan sangat masif dilakukan.
Mendekati Masjidil Haram, banyak juga yang teryata memilih untuk shalat di emperan jalan. Banyak juga yang memutuskan shalat di trotoar jalan. Bahkan ketika memasuki halaman Masjidil Haram, ribuan jamaah telah memadati dan bersiap untuk melaksanakan shalat Idul Fitri.
Saya dan suami pasrah saja dimana akan mendapat tempat untuk menunaikan ibadah shalat Idul Fitri. Setidaknya kami sudah berada di halaman masjid. Namun untuk berada di halaman masjid pun butuh perjuangan karena harus berjubel dengan ribuan jamaah yang berusaha masuk di dalam Masjidil Haram.
Beberapa pintu masuk masjid yang kami lewati, tertutup. Saya sempat menoleh ke arah suami dan berkata “Nggak usah di dalam masjid. Di halaman sini saja nggak papa,” kata saya. Suami meminta saya tetap melangkah ke depan. Dan alhamdulillah ada pintu terbuka dan kami pun masuk ke dalam masjid.
Saat masuk ke dalam masjid, kami juga masih harus berusaha mencari tempat di dalam untuk bisa menunaikan shalat. “Kita langsung ke atas saja, tempat biasanya kita shalat,” kata suami. Dan pilihan itu adalah pilihan yang tepat. Saat banyak jamaah ingin di lantai bawah agars egera keluar masjid, di lantai atas tempat kami shalat, masih banyak yang kosong. Setelah mengantar saya mendapat tempat duduk, suami pun bergegas mencari tempat untuknya. Saya duduk di samping jamaah yang berasal dari India dan Mesir.
Sambil menunggu waktu shalat, lantunan takbir terdengar sangatlah merdu. Air mata tak henti-hentinya menetes.
Takbir Idul Fitri di Masjidil Haram
Allahu Akbar .. Allahu Akbar … Allahu Akbar. La ilaha illallahu wallahu akbar. Allahu akbar, walillahil hamdu.
Lantunan takbir terdengar dan lidah ini pun berulangkali mengucapkan kata yang sama. Allahu akbar, Allahu akbar. Ya Allah, sungguh Maha Besar kuasaMu.
Kami sempat videocall bersama keluarga di Indonesia. Pertama, video call bersama anak-anak. Ada cerita lucu saat video call, jamaah dari India yang duduk di samping saya ikutan nimbrung dan sempat dadah dadah ke anak-anak.
Nah setelah video call, jamaah itu minta saya untuk bisa merekam video di hapenya. Tapi saya berulangkali otak atik, saya tak menemukan aplikasi kamera. Varian handphonenya berbeda dari yang saya tahu. Tapi tetap saja tak ada. Ya sudahlah.
Suasana lebaran di dalam Masjidil Haram benar-benar berbeda dibandingkan saat saya lebaran di Indonesia. Ada banyak anak-anak berdandan cantik sambil memegang balon untuk menikmati suasana di dalam masjid. Walaupun mereka aktif bermain, tak ada tanda anak-anak teriak-teriak atau menangis rewel. Semuanya tampak sangat berbahagia menikmati lebaran.
Waktu untuk menunaikan ibadah shalat Idul Fitri dan mendengarkan khutbah pun selesai. Tapi saya dan suami tak langsung pulang. Kami menunggu hingga jemaah agak senggang untuk bisa pulang. Kebetulan saat itu memang ramai sekali dan kami pun posisi di lantai paling atas.
Saya menghampiri suami yang berada di barisan paling depan. Saya sempat minta tolong petugas untuk memotret saya bersama suami. Dan alhamdulillah petugasnya bersedia memotret saya dan suami.
Kami keluar masjid sekitar pukul 6 pagi. Saat pulang, suasana tampak sudah lebih lowong. Saya sempat membeli kurma ajwa dua kilo. Satu kilo harganya kalau dirupiahkan sekitar Rp 100 ribu. Murah banget kan? Jujur ingin beli banyak tapi akhirnya hanya beli dua dan sudah di kemas di kemasan plastik.
Karena berangkatnya jalan kaki, saat pulang pun kami jalan kaki. Tapi entah kenapa saat pulang, agak sedikit beda jalan. Setelah menempuh perjalanan jalan kaki, kami pun tiba di jalan raya. Tampak puluhan bus berjejer panjang antri tidak bergerak. Benar-benar tidak bergerak !
Pulangnya sempat mau beli makanan tapi teryata karena ada antrian, kami pun memutuskan untuk langsung ke hotel untuk berkumpul silaturahmi dengan jemaah lain.
Pengalaman melaksanakan lebaran di Mekkah sangat berkesan bagi saya dan suami. Semoga ini bukan pengalaman pertama dan terakhir, tetapi akan ada pengalaman lainnya. Dan berharap anak cucu bisa melaksanakan dan merasakannya. Begitu juga teman-teman yang membaca tulisan ini. Aamiin
Tips Merayakan Lebaran di Mekkah
- Ambil paket umrah akhir ramadhan hingga usai lebaran
- Berangkat dini hari ke Masjidil Haram untuk dapat melaksanakan shalat Idul Fitri di Mekkah
- Niatkan untuk mendapatkan pahala shalat Idul Fitri
- Tidak ada kendaraan umum ke Masjidil Haram saat awal keberangkatan. Lebih baik jalan kaki untuk mendapatkan kesempatan shalat di Masjidil Haram.
發佈留言