Selasa, 2 Juni 2020
Malam sebelumnya, saya mendapat informasi kalau hari ini akan ada pengumuman kepastian keberangkatan haji. Jujur, saya agak pesimis untuk dapat berangkat haji tahun ini.
Sejak awal pandemi muncul dan bagaimana perkembangannya dari waktu ke waktu, saya dan suami menyiapkan diri jika keberangkatan haji tertunda. Apalagi waktu jelang keberangkatan semakin dekat, tapi tak ada tanda-tanda pelaksanaan haji. Tapi walaupun pasrah dan menyiapkan diri, hati ini tetap saja sedih karena rencana keberangkatan haji yang tertunda.
Tapi saya percaya, Allah juga pasti akan memberikan keajaiban sehingga saya dan suami serta jamaah haji lainnya bisa berangkat haji tahun ini.
Di kantor sudah mulai persiapan jelang pengumuman yang akan disampaikan Menteri Agama, Fachrul Razi. Saya mencoba bekerja seperti biasa. Seolah-olah tak ada informasi yang saya tunggu. Padahal hati saya berdebar tak karuan. Saya menunggu kepastian keberangkatan haji yang telah disiapkan sejak tahun 2012.
Delapan tahun menanti dan hari inilah keputusannya.
“Pemerintah memutuskan tidak memberangkatkan jamaah haji pada 1441 Hijriah atau tahun 2022 ini,” kata Fachrul Razi. Ada tiga alasan utama jamaah Indonesia batal berangkat haji 2020. Pertama karena pertimbangan kesehatan jemaah, waktu persiapan jemaah tidak cukup, dan belum ada keputusan resmi dari Arab Saudi terkait rencana pelaksanaan ibadah haji 2020. Sebanyak 221.000 jemaah haji 2020 yang tertunda berangkat haji.
Saat mendengarkan peryataan pembatalan keberangkatan haji tahun 2020, saya mencoba menahan air mata. Tapi teryata saya tak kuat. Saya kuatir tak bisa menahan tangis di newsroom sehingga saya memlih melangkah kaki secepat mungkin menuju mushalla yang terletak tak jauh dari meja kerja.
Di mushalla itu, saya menangis sendiri. Air mata seolah mengalir tanpa bisa saya hentikan. Suara tangis saya terdengar. ‘Ya Allah, ujian apa sehingga engkau tak ijinkan hamba untuk berangkat haji tahun ini”. Saya menangis hingga saya merasa lega sudah menuangkan perasaan saya.
Setelah merasa lega menangis, saya kembali ke meja kerja. Bekerja seperti seolah tak ada apa-apa. Bekerja seolah semuanya baik-baik saja walaupun hati terasa sedih sekali. Di kantor, tak banyak yang tahu tentang rencana keberangkatan haji saya tahun ini. Jadi ketika saya balik kerja lagi, semuanya berjalan normal seperti biasa.
Keluarga mengirim pesan penuh semangat dan mendoakan agar saya dan suami segera berangkat haji. Begitupula sahabat yang tak henti-hentinya mengirimkan doa. Saya mengamini setiap doa yang dipanjatkan.
Grup jamaah haji memberikan reaksi setelah mendengar kabar penundaan keberangkatan haji ini. Ada yang menyatakan kesedihannya, ada yang mengirim ikon menangis dan ada pula yang berusaha menguatkan sesama jamaah lain walaupun tentunya sedih dengan penundaan keberangkatan haji ini.
Sepulang kantor, saya duduk berdua dengan suami. Saya tak bisa banyak bercakap. Saya juga berusaha menahan air mata agar tak tumpah lagi. “Tetaplah berprasangka baik kepada Allah,” kata suami. Saya tak mampu berkata-kata ke suami tentang keberangkatan haji yang tertunda. Kami saling menguatkan dan mendoakan serta memupuk keyakinan bahwa suatu saat, kami akan berangkat haji.
Saya yakin Allah memiliki skenario terbaik untuk saya dan suami.
Dan saya tak berhenti melantunkan doa agar
Allah mengabulkan doa untuk bisa menunaikan ibadah haji.
Posting Komentar