Aman nggak ke rumah sakit saat wabah pandemi karena virus corona ? Pertanyaan itu berulangkali terlintas di pikiran saya saat wabah pandemi ini muncul. Sama seperti yang lain yang memilih untuk mengurangi keluar rumah ketika tak ada penting, saya pun menghindari bepergian jika tak ada kepentigan. Termasuk ke rumah sakit. Tapi beberapa bulan, saya harus menemani suami sesekali ke rumah sakit untuk terapi akupuntur untuk mengobati nyeri leher-pundak dan tangan kanannya.
Puncaknya pada akhir bulan November 2020 tepatnya pada 21 November 2020. Kebetulan Sabtu itu saya libur kerja sehingga masih bisa menemanin suami ke rumah sakit. Jam 8 pagi, kami sudah keluar rumah untuk menuju Rumah Sakit Universitas Indonesia di kawasan Depok, Jawa Barat. Ini pertama kali saya ke Rumah Sakit UI.
Suami menunggu di pendaftaran |
Tujuan awalnya untuk mengambil hasil MRI yang telah dilakukan suami pada Kamis lalu. Tiba di RS UI, tampak kosong suasananya. Hanya terlihat satu dua orang yang lagi mengantri di bagian pendaftaran.
Saya dan suami langsung menju ke bagian radiologi untuk mengambil hasil MRI. Tapi teryata belum bisa di ambil dan kami harus menunggu setengah jam lagi. “Kita ngopi aja Mi di cafe,” kata suami. Saya mengiyakan walaupun sebetulnya saya nggak pengen ngopi.
Sepanjang perjalanan, saya melihat RS UI memiliki ventilasi udara yang cukup baik. Atapnya tinggi dengan pencahayaan yang berlimpah. Tempatnya juga nyaman dan bersih. Tiba di cafe, hanya terlihat satu orang dan itu pun berjarak cukup jauh. Suami memutuskan memesan kopi cappocino sedangkan saya yang ingin susu almond malah tak tersedia. Kami duduk ngobrol berdua ngalur ngidul dengan tetap menggunakan masker. Setelah minum kopi, kami pun memutuskan tetap menggunakan masker medis.
Di Rumah Sakit UI |
Setengah jam berlalu, kami kembali menuju hasil pengambilan MRI dan kemudian langsung menuju ke RS Harapan Bunda, Jakarta Timur. Setelah pendaftaran via telepon dan menunggu selama setengah jam, kami berdua dipersilahkan masuk ke ruang dokter akupuntur.
Hasil MRI yang kemudian dibacakan oleh dokter, jujur membuat saya terkejut. Suami juga tapi saya tahu dia berusaha untuk tenang. Teryata rasa sakit yang selama ini dirasakan karena ada syaraf terjepit di bagian leher. Keputusannya, suami harus menggunakan penyangga leher.
Namun untuk memastikan, disarankan untuk ke bagian rehabilitasi medis atau ke dokter ortopedi. Saya langsung menghubungi ke bagian rehbailitasi medis untuk suami bisa menjalani pemeriksaan saat itu juga di rumah sakit yang sama. Teryata sabtu mereka libur dan baru buka senin.
Kemudian dokter menyarankan ke dokter ortopedi khusus leher kenalannya di RS Siaga di Pejaten, Jakarta. Saya langsung hubungi rumah sakit dan alhamdulillah sore itu juga dokter ortopedi praktek. Saya membuat janji agar suami diperiksa secepatnya. “Mumpung ummi bisa temanin bapak,” saya bilang ke suami.
Setelah proses akupuntur selama satu jam, kami pun pulang ke rumah. Tiba di rumah, kami mengganti semua pakaian yang kami kenakan dan mandi bersih sebersih-bersihnya. Suami memutuskan untuk istirahat terlebih dahulu sedangkan saya kebetulan harus mengurus pekerjaan lainnya.
Di RS Siaga |
Setelah menunaikan shalat ashar, saya dan suami serta Ayyas pun melaju ke rumah sakit Siaga. Oh ya teryata selama kami ke rumah sakit dari pagi hingga siang, Ayyas tidur sehingga kami merasa kasian kalau harus melepas dia di rumah juga. Akhirnya diputuskan Ayyas ikut tapi hanya di mobil saja. Itupun karena proses di rumah sakit Siaga tak lama.
Hampir 30 menit menggendarai kendaraan, kami pun tiba di RS Siaga. Saya mendaftarkan suami sebagai pasien baru dan suami memutuskan istirahat di mobil. Jadwal periksa yang harusnya pukul 5 sore, mundur ke pukul 6 sore.
Saya memutuskan tinggal di mobil bersama Ayyas. Setelah selesai periksa, suami menggatakan hasil MRI yang dibacakan teryata sama. Hasil diagnosis, suami saya mengalami syaraf kejepit di leher. Dokter menyarankan suami untuk menggunakan penyangga leher. Oh ya, khusus untuk cerita syaraf kejepit di leher, saya insyaAllah akan menuliskan di postingan terpisah.
Sekitar pukul 19.00 WIB, urusan di rumah sakit selesai. Tapi karena penyangga leher di rumah sakit itu belum ada yang pas dengan suami, maka kami pun memutuskan untuk mencari penyangga leher di apotek saat perjalanan pulang.
Alhamdulillah, kami mendapat penyangga leher seharga Rp 190 ribu di apotek di depan RS Pasar Rebo. Sekitar pukul 20.00 WIB kami tiba di rumah dan langsung mangganti baju dan mandi, makan malam, minum vitamin dan beristirahat.
Apa yang Harus Dilakukan Jika Harus ke Rumah Sakit Selama Wabah Pandemi Ini ?
Lalu, apa yang harus dilakukan jika terpaksa harus ke rumah sakit saat wabah pandemi ? Pertama-tama, gunakan masker yang baik dan benar. Kami memutuskan untuk memakai masker medis dengan baik dan benar untuk mencegah terkena wabah pandemi.
Kedua, kami memutuskan untuk menjaga jarak dengan yang lain. Saya lihat kursi-kursi yang disediakan di rumah sakit jaraknya sudah diatur untuk menghindari kerumunan. Bahkan di RS UI saking sepi, satu ruangan besar hanyalah saya dan suami.
Ketiga, skrining seluruh pengunjung rumah sakit. Sebelum masuk rumah sakit, setiap orang harus menjalani pemeriksaan suhu tubuh dan diwajibkan mencuci tangan pakai sabun atau menggunakan hand sanitizer.
Keempat, semua petugas rumah sakit menggunakan APD standar sesuai dengan standar medis untuk melindungi dari virus corona. Kelima, sepulang rumah sakit harus mengganti seluruh pakaian, mandi bersih. Jangan lupa untuk mengkonsumsi vitamin, makan-makanan bergizi dan istirahat yang cukup.
Keenam, perbanyak berdoa semoga Allah selalu melindungi kita semua dari wabah panyakit. Aamiin. Nah, itulah pengalaman saya ke rumah sakit selama wabah pandemi ini.
Semua protokoler kesehatan memang harus dipatuhi ya di masa pandemi ini terutama saat di RS
Reply DeleteIyaa bener banget mba
Reply DeleteRS telihat dari luar megah ya.. gedungnya putih bersih dan memang terlihat ya dalamnya juga bersih walupun hanya beberapa foto cukup mewakili.. dengan tetap mematuhi protokol kesehatan, semoga saat ke RS juga berjalan dengan baik dan lancar ya.. dan semoga pak suami lekas membaik ya mbak Al
Reply DeleteIya bagaimanapun jadi lebih nyaman sih liat sepi dan bersih gini. Aamiin doanya mba makasih
Reply Deletewah ternyata kosong ya :) saya belum pernah *amit2 sih* ke rumah sakit sejak pandemi hahaha kalau rame kayaknya makin parno aja ya mba
Reply DeleteIya a bener sebetulnya ya beneran parno tapi mau gimana lagi :D
Reply DeleteSMoga ga lagi lagi
Semoga suaminya cepat pulih, ya.
Reply DeleteAku setiap bulan tetap kontrol kandungan ke RS, sih. jadi udah akrab sama suasana di sana saat pandemi. Yang penting tetap jaga protokol kesehatan aja.
Aamiin mba Farida. Terima kasih. Doa yang sama juga mba
Reply DeleteSemoga suaminya segera pulih, Mbak Alida. Alhamdulillah sudah tertangani rasa sakitnya ya. Apa boleh buat ya kalau memang harus ke RS, alhamdulillah RSnya memang menerapkan protokol kesehatan dan para pengunjungnya pun tertib.
Reply Deletesehat2 teruss mbaa. rs rentan penularan, jdi memang kita harus bener2 peduli sama diri sendiri walaupun di rs jg menerapkan protokol.
Reply DeleteSemoga suami segera pulih ya mbak.
Reply DeleteDisini RS jg sepi krn tidak berlaku jam kunjungan, hanya beberapa poli saja buka dan prokesnya ketat
2 minggu belakang saya bolak balik ke Rs kak Alida untuk periksa papa ku, awalnya degdegan tapi Bismillah aja dan terus perhatikan protokol kesehatan. Semoga suami kak Alida lekas sembub ya.
Reply DeleteRSnya lumayan sepi yaa mba... aku juga sebenarnya masih hindari RS tapi masih ke klinik dengan protokol kesehatan yang ajeg
Reply DeleteAlhamdulillah~
Reply DeleteRumah sakitnya pun sepi yaa...kak Al.
Syafahullah,
Semoga suami lekas sehat kembali...
Aku kira rumah sakit banyak yg penuh hehe. Tp mungkin tergantung bagiannya juga kali yaa Mba. Makasih ya udah sharing pengalamannya :)
Reply Delete