Tak mudah untuk
merajut luka akibat konflik antar golongan. Namun Lian Gogali, perempuan
berusia 37 tahun ini menggumpulkan perempuan-perempun korban konflik Poso
kemudian mendirikan Sekolah Perempuan Mosintuwu dan mendorong gerakan perempuan dalam pembangunan desa-desa di Kabupaten Poso.
Saya
mengenal Lian Gogali pada tahun 2013 saat membaca profilnya disebuah media
massa nasional. Komunikasi antara saya dan Lian kemudian berlanjut melalui
sambungan telepon karena saya di Jakarta dan Lian di Poso. Dua tahun lalu,
tepatnya tahun 2015 media tempat saya melakukan peliputan profilnya di Poso.
Kiprahnya yang menginspirasi membuat saya ingin segera berjumpa dengannya dan ngobrol tentang kiprahnya.
Beruntung,
Senin, 6 November 2017 saya terhubung dengannya melalui whatsapp. “Saya akan penerbangan dari Poso ke Jakarta. Kita ketemu
di Wisma PGI untuk ngobrol, bisa?” katanya. Sehari kemudian, sepulang kerja
saya langsung menemuinya di Wisma PGI Jalan Teuku Umar, Jakarta. Setelah
menunggu hampir satu jam, saya pun bertemu dengannya.
Walau
baru pertama kali bertemu, saya merasakan seperti berjumpa dengan sahabat lama
yang terpisah jarak dan waktu. Kami kemudian duduk dan ngobrol di sudut ruangan Wisma PGI yang nyaman. Ia menceritakan
kesibukannya selama di Jakarta mengikuti pertemuan dengan teman selama dua
hari. “Besoknya saya harus ke Surabaya untuk mengikuti agenda lain,”
katanya. Pertemuan selama 1,5 jam itu
menceritakan tentang kiprah ia selama ini dan berbagai upayanya agar Poso
bangkit.
Lian
Gogali adalah perempuan Poso yang mengisiniasi perdamaian kepada perempuan saat
konflik Poso. Lian mendirikan Sekolah Perempuan Mosintuwu dan membangun
kepercayaan antar kelompok perempuan, melatih perempuan untuk tak ragu
menyampaikan pendapat dan mengajarkan kesetaraan gender.
Semua
bermula saat ia masih tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana Fakultas Budaya
dan Agama Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta yang melakukan penelitian terkait kekerasan
dan politik ingatan. Selama hampir 1,5 tahun ia bolak balik Jogjakarta-Palu
untuk melakukan penelitian kepada perempuan korban Poso.
Lian
Gogali mewawancarai banyak perempuan sebagai respondennya. Ada kisah seorang
ibu yang bersembunyi selama tiga hari di toilet bersama anak. “Saya menemukan
bahwa perempuan mengalami kekerasan berlapis akibat konflik tersebut,” ungkap
Lian. Cerita awal yang muncul memang lebih menceritakan tentang permusuhan
antar kelompok yang bertikai. Namun berkat ketekunannya ia menemukan
kisah-kisah perempuan yang saling menolong antar kelompok yang bertikai.
Kisah-kisah itu kemudian dia rangkum dan membuatnya yakin bahwa perempuan
adalah agen perdamaian.
Salah satu kegiatan Sekolah Perempuan. Sumber : Mosintuwu.com |
Penelitian-penelitian
itu kemudian ia tulis menjadi tesisnya bertema konflik Poso di Fakultas Budaya
dan Agama Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Ketika ia merasa ‘tugasnya’
selesai, ia dihadapkan dengan pertanyaan yang berulangkali disampaikan
kepadanya. “Lalu abis nulis penelitian apa yang dilakukan?,” kata salah satu
responden yang kerap ditemuinya. Pertanyaan itu dan kemudian kisah-kisah
perempuan yang menjadi korban konflik semakin tergiang-ngiang di kepalanya. Lian
dihadapkan pada dua pilihan, menetap di Jogjakarta atau memulai sesuatu yang
baru di Poso. Namun untuk meninggalkan Jogjakarta pun mudah.
Ia
telah memiliki pekerjaan tetap di Jogja dan berada dalam kondisi hamil tanpa
suami. Pulang ke Poso, baginya, berarti harus siap dengan ‘kutukan sosial’ yang
akan dilekatkan pada dirinya. Namun setelah melalui pertimbangan panjang, ia
memilih kembali pulang ke Poso dengan segala resiko yang harus dihadapi. Baginya,
semua ini adalah perjalanan spiritual yang harus dilewati dalam kehidupannya.
Tahun
2010 ia mendirikan Sekolah Perempuan (SP) yang bernama Mosintuwu –dari bahasa
Poso yang artinya “hidup bersama”. Walaupun namanya Sekolah Perempuan, jangan
bayangkan Sekolah Perempuan dilaksanakan di bangunan khusus. Sekolah Perempuan
adalah ruang alternatif belajar membentuk peradaban berpikir yang baru sehingga
perempuan terlibat dan mampu menyampaikan pendapatnya.
Mengapa
perempuan? Lian melihat perempuan adalah agen perubahan perdamaian. “Perempuanlah
yang pertama kali memunculkan pasar yang kemudian mempertemukan kelompok yang
bertikai,” kata Lian kepada saya. Peran perempuan di Poso semakin terpinggirkan
pasca konflik. Padahal perempuan Poso dulunya memiliki peran yang sangat
penting.
Perempuan
merupakan pemimpin spiritual karena mampu melahirkan dan dianggap sebagai
sumber kehidupan. Perempuan Poso dulunya yang menentukan kapan tanggal
pernikahan dan kapan waktu yang tepat untuk menanam padi. Selain itu, perempuan
Poso dulunya adalah tabib yang mampu mengobati dan tahu segala jenis obat. Perempuan
Poso juga sebagai hakim karena mampu
memberikan keputusan yang bijak dan mampu bernegosiasi dengan baik untuk
mengambil keputusan
Namun
pada era kolonial, empat peran perempuan itu hilang. Dan hanya laki-laki yang
mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Pasca konflik, peran
perempuan semakin terpinggirkan.
“Sekolah
Perempuan didirikan untuk membangun peradaban di Poso pasca konflik agar damai
dan adil,” ungkap Lian panjang lebar. Perempuan katanya, memiliki kekuatan
untuk mengubah menjadi lebih kehidupan yang lebih baik.
Lian
bersama tim kemudian datang dari satu rumah ke rumah lainnya untuk mengajak
perempuan yang berasal dari berbagai latar belakang agama dan yang hanya mampu
menempuh pendidikan maksimal SMP (Sekolah Menengah Pertama).
Para
perempuan diajak ngobrol tentang
permasalahan yang mereka hadapi dan diberi kesempatan untuk mengungkapkan
solusi yang diinginkan. Bagi saya, apa yang dilakukan ini adalah upaya Lian
untuk memberikan kesempatan perempuan untuk menyatakan pendapatnya.
Penolakan
bergabung sebagai anggota Sekolah Perempuan muncul karena menganggap bahwa
mengikuti Sekolah Perempuan membuat perempuan tak memperhatikan urusan rumah
tangga.
Muncul
pula asumsi bahwa jika ikut SP, ibu-ibu berbicara lebih lantang dan melawan.
“Beberapa sempat mengancam lewat SMS,” ungkapnya.
Setelah
terkumpul 80 orang yang berasal dari 14 desa, Sekolah Perempuan itu pun
dijalankan. Permasalahan muncul karena perempuan korban konflik itu hadir
dengan membawa trauma dengan ketakutan atas konflik yang dihadapi. Dan ketika
bertemu dengan kelompok lain, trauma itu pun muncul. Kegiatan tidur
bersama-sama selama tiga hari agar lebih membaur pun gagal total. Tak ada pun yang
mau melakukan kegiatan itu. “Mereka trauma dan takut. Bahkan ada yang takut
dibunuh,” kata Lian.
Perempuan-perempuan
itu datang dengan kondisi marah karena menjadi korban konflik. Saat pertama
kali dipertemukan, para nggota tak mau saling bertatap muka bahkan duduk saling
berjauhan. “Kalau istilah ibu-ibu, mereka pengen saling gigit,” ungkapnya.
Lama
kelamaan, secara perlahan, melalui pendidikan perempuan diajarkan tentang
toleransi dan perdamaian serta kesetaraan gender. Lian mengundang akademisi,
budayawan, tokoh masyarakat, dan kaum perempuan untuk mendiskusikan kebutuhan
bahan kurikulum. Lantas materi yang masuk dielaborasi Lian dengan bantuan Jhon
Lusikooy, seorang akademisi yang juga aktivitis sosial di Tentena.
Sekolah
Perempuan pun dilaksanakan selama setahun untuk setiap angkatan. Dalam sebulan
dilakukan 4 kali pertemuan. Dan setiap kali pertemuan berlangsung selama 5-6
jam. Tempat dilaksanakan Sekolah Perempuan dilakukan di setiap desa di rumah
warga secara bergiliran. “Kadang juga Sekolah Perempuan dilakukan di pasar atau
di dapur. Semuanya fleksibel,” kata Lian.
Perempuan
anggota Sekolah Perempuan dilibatkan dalam penentukan jadwal sekolah, lokasi
sekolah hingga materi yang akan dibahas namun tetap berdasarkan kurikulum yang
telah dibuat. Kurikulum menitikberatkan pada banyak hal termasuk terkait agama,
toleransi, perdamaian, gender dan hak atas tanah.
Kurikulum
Sekolah Perempuan Institut Mosintuwu disusun dalam sembilan komponen, yaitu: 1)
Agama, Toleransi dan Perdamaian; 2) Gender; 3) Perempuan dan Budaya; 4)
Kesehatan Seksual dan Hak Reproduksi; 5) Perempuan dan Politik; 6) Ketrampilan
Berbicara dan Bernalar; 7) Hak Layanan Masyarakat; 8) Hak ekonomi, sosial dan
budaya dan Hak Sipil Politik; dan 9) Ekonomi Solidaritas.
Bahasa
yang digunakan saat penyampaian materi adalah bahasa yang mudah dipahami oleh
seluruh anggota Sekolah Perempuan. Namun tak semuanya proses belajar di Sekolah
Perempuan belajar lancar. “Sekolah bisa batal ketika ada yang pesta atau
kegiatan lain,” kata Lian.
Berkat
ketekunan, kerja keras Lian dan didukung seluruh anggota Sekolah Perempuan,
dampak positif pun semakin terasa. Perubahan paling nyata, menurut Lian,
dirasakan para perempuan peserta SP sendiri. Setelah mengikuti Sekolah
Perempuan itu lama kelamaan mereka mulai paham, saling menghormati dan terbuka
terhadap perbedaan agama.
Angkatan
kedua kemudian dilaksanakan dengan melibatkan lebih banyak lagi perempuan yakni
100 orang yang berasal dari 24 desa. Jika angkatan pertama membahas tentang perdamaian
dan toleransi, angkatan kedua fokus pada isu kesetaraan gender, hak-hak
perempuan. “Sekolah perempuan tak hanya mengurusi soal perdamaian saja
melainkan harus menjernihkan sejarahnya sendiri,” katanya lagi.
Melalui
Sekolah Perempuan, Lian membangun interaksi antar perempuan untuk membangun
kepercayaan yang dulu sempat hilang. Kini, Sekolah Perempuan telah memasuki
angkatan ketiga yang lebih menitikberatkan pada kekuatan perempuan di bidang
ekonomi, budaya, sosial, dan politik.
Sekolah
Perempuan awalnya digagas untuk pemulihan dan perdamaian pasca konflik
bersenjata di Poso dengan perempuan sebagai agen perubahan. Sejalan waktu, ide
bergulir menjawab tantangan terkini, yaitu peran aktif perempuan dalam
pembangunan desa untuk menyambut UU tentang Desa No 6 tahun 2014 yang dipercaya
menjadi alat perjuangan yang penting bagi pemajuan perempuan dan masyarakat
pada umumnya. Isi kurikulum pun telah menjalani perubahan sejak angkatan
pertama Sekolah Perempuan karena mengikuti perubahan tantangan di lapangan.
Berkat
dedikasinya, 20 Maret 2015, Lian mendapat penghargaan Coexist Prize di Skirball
Center, Universitas New York, Amerika Serikat. Penghargaan internasional dari
Coexist Foundation yang bermarkas di Inggris itu diberikan kepada mereka yang
dianggap sebagai unsung hero, sosok tidak dikenal yang bekerja dan
memperjuangkan isu perdamaian serta gerakan interfaith.
Institut Mosintuwu juga mendapatkan Maarif Award 2016 dari Maarif Institute karena dianggap berhasil mengorganisir kelompok perempuan dan anak-anak korban konflik di Kabupaten Poso dalam membangun kehidupan perdamaian, dan mendorong gerakan perempuan dalam pembangunan desa-desa di Kabupaten Poso.
Kini,
perempuan-perempuan lulusan Sekolah Perempuan Mosintuwu kini telah bangkit dari
trauma akibat konflik dan menjadi agen perubahan. Perempuan, seperti yang termuat dilatih untuk melawan
ketakutan untuk berpikir kritis. Perempuan-perempuan lulusan Sekolah Perempuan pun
telah banyak terlibat dalam proses pengambilan keputusan di pemerintah.
Saya dan Lian Gogali |
Irna,
salah satu anggota Sekolah Perempuan Mosintuwu saat diwisuda pada 7 November 2015
mengatakan, “Saya tidak tamat SD. Tapi, di Sekolah Perempuan, saya mengalami
banyak perubahan dan saya belajar banyak. Saya juga belajar banyak tentang
toleransi antar umat beragama. Sekarang saya dipercaya menjadi ketua RT,” kata
Irna seperti dikutip dari website Mosintuwu.
Lian
merupakan perempuan yang menebar pesan perdamaian dan berhasil membuat perempuan
menjadi agen perubahan.
Sumber
referensi :
http://independen.id/read/orang/176/pendidikan-untuk-kelompok-rentan/
http://independen.id/read/politik/489/upacara-kemerdekaan-ala-sekolah-perempuan-di-beberapa-daerah/
http://www.mosintuwu.com/
Inspiratif bnget perempuan ini berani judulnya tambah lagi daftar kekaguman orang2 baik,,,
Reply DeleteIya mba Utie. Semoga menginspirasi ya apa yang sudah dilakukan oleh mba Lian
Reply DeleteLian itu pendobrak masa. Semangat menambah ilmu dan berbagi kepada para perempuan harus diacungi jempol dan patut ditiru. Meskipun ga tamat SD tapi ia dipercaya menjadi pemimpin warga. Hebat!
Reply DeleteIya dia berhaisl membuat ibu2 yang nggak tamat SD untuk maju dna itu terbukti
Reply DeleteInspring bgt Mbak, bener memang perempuan itu agen perubahan. Kekuatan perempuan itu kasat mata tapi nyata adanya
Reply DeleteSetujju bnget mba Tetty
Reply DeleteLuar biasa yang dilakukan mbak Lian. Meskipun dirinya juga mengalami konflik pribadi, tetapi tetap berjuang mewujudkan mimpi. Semoga menginspirasi kita untuk terus berbuat baik pada sesama. Salut ^^
Reply DeleteIya mba. Perjuangan itu yang harus menginspirasi kita ya mba :)
Reply DeleteKalau dengar nama kota "Poso" emang yang langsung terbayang kejadian kerusuhan itu mbk Al. Wah salut sama Lian, bisa memberi pemahaman tentang toleransi dan perdamaian kepada ibu2. Ibu2 ini emang menurutku penting utk "dipegang" soalnya mereka kan yg berperan besar ngajarin anak2nya. TFS
Reply DeleteItulah. Tapi sayangnya dulu perempuan tak mendapat tempat untuk bersuara mba
Reply DeleteJasi ingat masa aku muda wkekwk, setidaknya aku sepemikiran dengan Lian. Wanita seolah remeh temeh karena budaya banyak tidak berpihak,tapi sesungguhnya di rahimnya ada semesta
Reply DeleteSkarang kan juga masih muda, mba Eni. Hehhehe
Reply DeletePadahal perempuan sangat powerfull ya mba :)
Wow, Salut membaca perjalanan hidup Lian dan sekolah perempuan di Poso. Ia mengajarkan kemampuan praktis pada ibu-ibu di sana, ga hanya pelajaran sekolah. Aku share ya ke teman yang ada di sana.
Reply DeleteTerima kasih telh berbagi, mba Helena :)
Reply DeleteLian Gogali, benar-benar perempuan hebat. Sungguh besar perjuangannya mendirikan sekolah perempuan, terutama pesertanya orang-orang yang sudah trauma.
Reply DeleteDan ini merupakan salah satu pahlawan, iya, Lian Gogali salah satu pahlawan saat ini..
Iya mba Eri.
Reply DeleteMembangikan perempuan yang alami trauma itu yang tak mudah ya mba
Wanita inspiratif banget karena ga mudah bangkit dari trauma...Kerennnnn banget.
Reply DeleteIyaa, mba Amel. SMoga makin banyak yang terinspirasi ya
Reply DeleteWaah.. Idenya keren banget. Butuh keberanian dan dana yg mgkn ga sedikit utk membangun sekolah perempuan di poso. Tapi memang butuh banyak perempuan2 model mba lian ini.
Reply DeleteMasih banyak perempuan2 di pelosok yg butuh edukasi. Inspiring.
Iya mba Ade Ufi.
Reply DeleteTak mudah loh untuk melakukan seperti yang dilakukan oleh mba Lian dan itu padahal diperlukan :)
Suka sama perempuan tangguh seperti Lian Gogali. Inspiratif sekali dan dapat dituliskan dengan baik. Terimakasih ya mbak :)
Reply DeleteTerima kasih sudah membaca ya mba :)
Reply DeleteInspiratif banget mbak, trauma pasca konflik memang butuh kepercayaan diri untuk tampil kembali.
Reply DeleteDan itu membutuhkan waktu yang lama ya mbaaa
Reply DeleteWanita hebat, cuma bagian yang hamil tanpa suami maksudnya suaminya pergi atau gimana mba? Maaf agak kepo. Semoga makin banyak perempuan hebat yang bisa bermanfaat bagi lingkungan sekitar.
Reply DeleteDIa memutuskan tidak menikah, mba :)
Reply DeleteIya perempuan yang mengispirasi banyak orang ya mba
Saluteee! Kagum dan bangga pada sosok Mbak Lian, benar-benar perempuan berani tangguh dan perkasa :) nice post mbak Alida, terima kasih sudah berbagi ya .. salam kenal dari Kota Bondowoso
Reply DeleteTerima kasih sudah mampir ya mba :)
Reply DeleteSaya baru ini mendengar tentang Lian Gogali. Hidupnya dan perjuangannya tidak mudah. Urusan perempuan ternyata tidak melulu 'me time' tapi bisa juga melakukan hal-hal besar dan berdampak positif buat banyak orang. Terimakasih sudah mengenalkan sosok inspiratif ini.
Reply DeleteBanyak perempuan yang menginspirasi mba yang smoga bisa menularkan semangat bagi yang lain
Reply DeletePerlu banyak perempuan inspiratif seperti Lian Gogali ini di Indonesia, setelah baca ini, spiritnya pasti menular ke banyak perempuan termasuk aku :)
Reply DeleteAamin mba NUnu :)
Reply DeleteSuka banget aku sama sosok seperti ini. Benar memang menginspirasi banyak orang itu bisa dimana saja dari belahan bumi ini. Agar perempuan dapat terbuka mengungkapkan apa yang dirasakannya
Reply DeleteBener mba :)
Reply DeleteIni mah keren dan Inspiratif banget mba. Sukaaaa. Tulisan yang menarik neh.
Reply DeleteTerima kasih sudah mampir mba :)
Reply DeleteTerima kashih saring tulisannya inspiratif, salut samaLian Gogali yang terjun langsung ke akar permasalahan
Reply DeleteIya mba. Jadi terbantu banyak orang ya mba
Reply DeletePerempuan memang mudah dijadikan korban kalau bukan perempuan sendiri yang bangkit dan berjuang sulit mendapat perubahan, kagum dengan Lian yang begitu tangguh, semoga semakin banyak sosok perempuan sepertinya
Reply DeleteAmiin mba :)
Reply DeleteWaaah perempuan hebat dan menginspirasi sekali. Btw nama depannya sama denganku hehehe :D
Reply DeleteHehhe iyaa hampir mirip ya
Reply Deleteperempuan hebat!
Reply DeleteBener baget mba
Reply DeleteIlmu yang dipelajari saat kuliah di Jogja jadinya sangat bermanfaat untuk kemanusiaan. Salut untuk Mbak Lian Gogali.
Reply DeleteIya bener bang :)
Reply DeleteSetuju dengan istilah "Perempuan Pembawa Perdamaian" perempuan diciptakan dengan kelebihan rasa, dengan rasa maka lebih peka terhadap lingkungan sekitarnya. Sosok Inspiratif, Thanks Mba Al sudah memperkenalkan sosok Lian Golali.
Reply DeleteKepekaan itu memang lebih banyak dilakukan oleh perempuan ya mba :)
Reply DeleteSerem ya konflik Paso dan Ambon dulu tapi beritanya sedikit karena tekanan orde baru.
Reply DeleteBeritanya banyak mbaa.
Reply DeleteBanyak media yang meliput informasi ini. Bahkan setlaah 10 tahun aku ke Ambon untuk khusus liputan ini selama 10 hari :)
Inspiratif sekali wanita ini (Lian). Ini baru dinamakan Kartini modern. Membuat perubahan yang signifikan terhadap kaumnya sendiri. Sekolah bukan hanya "duduk" di bangku sekolahan, tapi belajar bersama tanpa melihat perbedaan.
Reply DeleteIsh aku suka kalimatmu mba. Sekolah bukan hanya "duduk" di bangku sekolahan, tapi belajar bersama tanpa melihat perbedaan.
Reply DeleteWah beruntung banget ya, ketemu perempuan yang menginspirasi. Strong melebihi superman
Reply DeleteAlhamdulillah jadi terinspirasi ya mbaaa
Reply DeleteKisahnya Inspiratif sekali, mbak. Isu-isunya sangat bermanfaat bagi perempuan dan bisa diterapkan di segala zaman, khususnya tentang menyebarkan perdamaian dan toleransi.
Reply DeleteIya bener banget mba. SMoga makin banyak yang kemudian terinspirasi
Reply DeleteWahh... spechless mau nulis apa. Karena mba rach mengemasnya lengkap dan apik.
Reply DeleteTerlepas dari itu semua Indonesia ini butuh sosok seperti Lian Golali.
Terima kaish sudah mampir dan membaca ya mba :)
Reply DeleteMba Lian keren banget ya, sosok yang sangat menginspirasi. Kartini jaman now ;D
Reply DeleteMenginspirasi banget ya mba
Reply DeleteInspiratif banget Sosok ini, senang bgt ya bisa ketemu dia mba
Reply DeleteAamin mba Ria :)
Reply DeleteDari fotonya, Lian terlihat sosok yg sangat ramah dan bersemangat. Cantik ya... Usia kepala 3 tapi sangat aktif. Sampai bisa membuat sekolah perempuan dan bak pahlawan wanita di Poso. Salut!
Reply DeleteIya aku juga salut dengan kiprahnya mba
Reply DeleteKeren nih, jadi motivasi bacanya. Terlebih bisa kenalan langsung dengan orangnya ya, Teh..
Reply Deleteaamin mas :)
Reply DeletePerempuan hebat, inspiratif. semoga Poso sekarang makin membaik & terus mengejar ketertinggalan ya mba.
Reply DeleteMasih suka sedih kalo ingat tragedi dahulu
InsyaAllah sekarang semakin maju dan sellau damai, mba :)
Reply DeleteInspiratif banget ditengah konflik pribadinya ia mampu memilih jalan mana yang akhirnya membuka kesempatan perempuan di POso, merinding bacanya. Ummi beruntung banget bisa kenal sosok inpiratif mba Lian ini :)
Reply DeleteIya bUnda. Terima kasih bundaaa
Reply DeleteSosok perempuan yang sangat inspiratif. :D
Reply Deletebener bangeet
Reply DeleteLian Gogali keren, menginspirasi banget :)
Reply DeleteIyaa mbaa :)
Reply DeleteKeren ya..jarang orang yg mau berbuat seperti dia :)
Reply DeleteSmoga makin banyak yang terinspirasi ya mba
Reply Delete