Awalnya
Mat Kaldun hanyalah pemuda biasa yang menempuh masa remaja dengan berbagai
kesulitan hidup. Ia menumpang hidup pada abang-abangnya saat kedua orangtuanya
meninggal. Ipar-iparnya pun kerap meminta bayaran dari Mat Kaldun sebagai
pengganti biaya makan selama hidup menumpang. Hanya satu yang Mat Kaldun
miliki, yakni kesenangannya pada melukis. Berkat kemampuan melukisnya yang
semakin terasa, karyanya menjadi koleksi yang diburu. Saat kematian Mat Kaldun,
abang-abang beserta istri-istri datang ke rumah Mat Kaldun meminta lukisan-lukisannya.Tanpa
persetujuan istri Mat Kaldun, lukisan-lukisan itu pun dibawa pergi. Kepada
anak-anaknya, istri Mat Kaldun mengatakan bahwa orang-orang yang membawa
lukisan itu adalah burung-burung nasar, sejenis makluk makhluk pemakan bangkai.
Dalam
kisah berjudul ‘Burung Nasar’, Daoed Joesoef memotret perjalanan hidup manusia
yang kerap terabaikan saat sengsara. Pengabaian ini bahkan dilakukan oleh
saudara sendiri. Namun ketika sukses, mereka yang jauh kemudian mendekat dengan
harapan kesuksesan itu juga bisa ikut dinikmati. Padahal, dimanakah mereka saat
dibutuhkan?
Kisah
‘Burung Nasar’ merupakan salah satu dari 10 cerita pendek yang ditulis oleh
Daoed Joesoef pada buku berjudul ‘Teman Duduk’. Ada juga kisah ‘Patung Guru’
yang menceritakan seorang guru yang sangat berjasa bagi sebuah kota. Setelah
meninggal, dibuatlah patung yang terbuat dari emas untuk menggenang
jasa-jasanya sewaktu masih hidup. Waktu berganti, patung yang dulu menjadi
kebangggan kota pun terabaikan. Saat sang patung bertemu seekor burung gelatik,
ia meminta agar burung menguliti satu persatu lembaran emas dan memberikan
kepada orang yang membutuhkan. Kisah ‘Patung Guru’ ini diilhami karya Oscar
Wilde, The Happy Prince (1888) dan semangat perjuangan Guru Nurlaila mempertahankan
eksistensi SMPS 56 Melawai dan hak-hak muridnya untuk belajar disana.
Daoed
Joesoef tak hanya sekedar menulis sebuah cerita, namun selalu menyisipkan pesan
moral tentang kehidupan sehari-hari. Ini yang juga dilakukan di buku-buku
sebelumnya yakni ‘Emak’ serta ‘Dia dan Aku’. Kisah ‘Mentimun Bungkuk’ seolah
menyindir masyarakat yang kerap memandang seseorang berdasarkan fisik.
Seseorang yang fisiknya tak sempurna dianggap tak berguna dan kemudian
terbuang. Namun kemudian, mereka yang terbuanglah yang dapat menolong.
Sedangkan
pada kisah ‘Kuburan Keramat, Daoed Joesoef memotret sebagian masyarakat yang
kerap memuja sesuatu tanpa tahu apa yang sebenarnya dipuja. Dalam kisah
‘Kuburan Keramat’, Daoed menceritakan masyarakat yang datang berbondong-bondong
ke sebuah kuburan yang dikeramatkan. Mereka datang memberikan uang, makanan
atau apapun agar keinginannya terwujud. Padahal, tahukah mereka apa yang
terkubur di dalam kuburan yang dikeramatkan tersebut? Teryata tidak.
Buku
setebal 231 halaman ini tak hanya membuat kisah-kisah yang berbobot. Namun juga
berisi puisi dan pantun pedagogis melayu. Pantun sejenis ini kerap dituturkan
oleh seseorang datuk atau penghulu adat dalam acara-acara resmi. Pantun-pantun
dikumpulkan dan dikategorisasi oleh Daoed berdasarkan apa-apa yang masih
diingat dari pembelajaran formal berpantun di sekolah dasar tempo doeloe,
pertandingan berbalas pantun antar kelas dan antar sekolah serta keikutsertaan
pada lokakarya.
Simaklah
pantun yang mengajarkan integritas, tidak munafik, tidak bermuka dua sesuai
dengan perbuatan lurus dan jujur, ada ungkapan:
“Lurus
bagai benang arang
Lurusnya
tahann dibidik
Sepadan
takah dengan tokohnya
Sepadan
lenggang dengan langkahnya
Sepadan
ilmu dengan amalnya
Sepadan
cakap dengan peragainnya
Sepadan laku dengan buatnya”
Buku ‘Teman Duduk’ adalah buku keempat karya Daoed Joesoef yang saya
miliki. Semua berawal dari membaca buku ‘Emak’ kemudian membaca buk berjudul ‘Dia’,
lalu ‘Borobudur’. Dan ketika ada buku berjudul ‘Teman Duduk’ saya pun langsung
membeli di toko buku terdekat.
Dalam buku ‘Teman Duduk’, Daoed
Joesoef menuliskan kisah demi kisah dengan bahasa yang mudah dimengerti. Namun
kisah-kisah itu harus dipahami dengan penafsiran yang tersirat sesuai kehidupan
saat ini. Buku ini tak sekedar ‘teman duduk’ melainkah cermin kehidupan yang
membuka hati nurani.
Penulis
: Daoed Joesoef
Judul
: Teman Duduk. Kumpulan Cerpen
Penerbit
Buku Kompas 2016
PT
Kompas Media Nusantara
Jl.
Palmerah Selatan 26-28
Tahun
terbit : 2016
enak dibaca pas di commuterline neh ya mbak ;) makasih reviewnya
Reply DeleteHihii iya, mba. Aku baca sekilas di commuterline. Sisanya aku lebih banyak baca di rumah dan di kantor. Hii. Makasih :)
Reply Deletebeneran suka bnget sama reviewnya mbak. isi bukunya maknanya indah banget lho hhee
Reply DeleteAlhamdulillah. Makasih yaa, mba. Aku juga suka makna setiap isinya. Pas dengan kondisi saat ini :)
Reply Deleteha, ha, aku kira teman duduk beneran ternyata judul cerita toh,
Reply DeleteHihiii iya, mba Tira. Tapi ya juga menandakan teman duduk beneran :)
Reply DeleteKayaknya menarik banget bukunya 😆😄
Reply DeleteBanget, mba Amel. Aku suka bangeet :)
Reply DeleteWaaah kumpulan cerpen ya Mak? Cerita-ceritanya menarik yaaa. Ntar coba cari aaahh. Makasi reviewnya Maaak
Reply DeleteIyaa mba, Kumpulan cerpen yang selalu memiliki muatan moral :)
Reply DeleteBaca buku pas lagi nunggu antrian dokter juga enak mbak hehe, jadi pengen beli buku ini juga
Reply DeleteBisa, mba:)
Reply DeleteKalau aku sih nggak rugi membacanya :)
Daod Joesòe selalu punya sentuhan yang 'enak' dalam tuiisannya ya mba. tema ceritanya sederhana tapi ngena. selalu suka baca karya beliau.. :-)
Reply DeleteIya mba Ira. Berbobot ya tulisannya :)
Reply DeleteBagus, mas. Nggak mengecewakan :)
Reply Deletesepertinya bakal jadi teman duduk yang asik nih..
Reply Deletethanks untuk reviewnya mbaaak
Iya mba Lina. Makasih kembali :)
Reply DeleteJenis bacaan yang bakalan "awet", buku seperti ini biasanya saya baca saat tidak ada deadline atau sedang liburan. Karena pasti butuh penghayatan untuk dapat memahami makna dan pesan moral yang tersirat di dalamnya. Good resensi, Mbak.
Reply Delete