Kemarin pagi di Pasar Palmerah, Jakata Barat. “Neng, kemane aje? Sudah lama nggak belanja,” kata penjual daging sapi langganan di Pasar Palmerah. Kebetulan, sang penjual berjualan di akses jalan saya menuju kantor. “Mas, beli iga sapi sekilo. Harga masih sama kan?,” kata saya. Biasanya, saya membeli iga sapi sekilo seharga Rp 55 ribu di Pasar Palmerah. Iga yang saya beli kemudian saya simpan di kulkas kantor. Dan ketika pulang di sore hari, iga itu saya ambil dari kulkas. Hmm ... sudah terbayang akan memasak sop iga yang lezat. Daripada membeli di warung yang tentu harganya lebih mahal, saya lebih memilih memasak.
“Maap Neng.
Harganya lagi mahal. Sekilo Rp 70 ribu,” kata penjualnya lagi. Dia menunjukkan
iga sapi yang banyak daging dan tak banyak lemak. “Tahun baru kemarin belum
turun juga harganya?,” kata saya. Awal tahun saya membeli iga sapi sekilo
seharga Rp 70 ribu. Jadi, saya pikir sekarang harga sudah normal menjadi Rp 55
ribu. Menurut penjual sapi, kini harga daging sapi dikenakan pajak 10 persen.
“Makanya sekarang harga lagi mahal, neng,” ungkapnya.
Saya membuka dompet
kecil. Hanya ada selembar uang Rp 50 ribuan dan tiga lembar uang Rp 2000.
"Uangnya nggak cukup, mas. Beli Rp 55 ribu dapat seberapa?" kata
saya.
"Susah ngintungnya,
mba. Sisanya bayar besok aja," kata penjual daging sapi.
"Ah, nggak enak.
Beli separuh aja deh kalau begitu," kata saya.
"Nggak papa,
mba. Ngabisin aja sekalian, " kata penjual itu lagi.
Akhirnya saya
membeli iga satu kilo. "Sisa sepuluh ribu saya bayar besok, mas,"
kata saya. "Iya, mba,"
Tiba di kantor,
saya membaca pemberitaan terkait kenaikan harga daging sapi. Informasinya, ada
pemberlakukan PPN 10 persen untuk tiap pemotongan seekor sapi yang berimbas
semakin tingginya harga daging. Harga daging yang melonjak naik tentu membuat
minat pembeli juga menurun. Masyarakat yang juga terkena imbasnya.
Penjual daging sapi |
Pagi ini, saya kembali ke Pasar Palmerah untuk membayar uang yang belum terbayar kemarin. Terpikir untuk sekalian membeli daging sapi namun dibekukan di freezer. Nantinya, daging itu akan dipakai untuk memasak sapi lada hitam. "Beli daging setengah kilo saja ah,"pikir saya. Tapi niat itu batal usai membayar Rp 10 ribu. "Daging sapi sekilo Rp 120 ribu, neng," kata penjual daging. Aih, batal deh masak daging sapi lada hitam ....
Lg naek krn sapi impor kena ppn duhh semua dipJakin
Reply DeleteIyaa, mba. Padahal kita udah ngirit-ngirit masak sapi ...
Reply DeleteSalam kenal Mbak :)
Reply DeleteSaya malah baru tahu nih kalau harga daging sapi naik. He..he... maklum jarang banget makan protein hewani termasuk sapi. Irit sama sehat emang beda-beda tipis sih ya... ha..ha..
Iya, mba. Aku sudah mengurangi makan daging. Sehat sih sebetulnya. Cuma emang nih harga naik terus. Aku seringnya mengolah ikan. Seger juga :)
Reply Deletemahal daging sapi dibandingkan iga sapi ya... n ngga bisa ya.. iga sapi di bikin jadi iga sapi lada hitam gantiin daging sapi lada hitam... maklum sering kepasar tapi ngga pernah nyimak dengan baik... heheheh :)
Reply DeleteIyaa lebih mahal daging sapi,mas. Beli iga aja. Di olah menjadi lebih enak dan lezat pula. Kalo daging sapi lebih mahal. Hehhe. Makasih sudah berkunjung :)
Reply Deletesaya selama kerja di kemanggisan, belum pernah belanja di pasar palmerah. Ke sana cuma ke Bank DKI, hehe.
Reply Deletemeski dekat pasar slipi, saya memang jarang belanja daging. Seringnya belanja buah, jadinya tidak tahu harga daging, hehe
Enak, mba jalan-jalan di Pasar Palmerah. Cuci mata gratis. Barang-barangnya lebih murah. Hehhe. Makasih, mba
Reply Deleteduhh, mahal banget Mbak :(
Reply DeleteIya, mba :(
Reply Deletejauh ya belanjanya dari Depok ke Palmerah hihihihihi
Reply DeleteLebih tepatnya "Dari Pasar Rebo ke Palmerah". Hehehee. Iya mas Anggara. Soalnya kalo di warung dekat rumah sering ke abisan. Aku sering belanja di Pasar Palmerah. Lebih muyah-muyah. Hehehe
Reply DeleteUntung saya gak suka daging sukanya Ikan...
Reply DeleteSalam kenal dari Blogger Pulau Seribu.
Iya. Buat selang seling masakan di rumah, mas. Biar nggak protes kalo menu-nya itu2 aja. Hehee. Salam kenal balik mas. Makasih udh mampir :)
Reply DeleteAku kurang suka daging.
Reply DeleteMasak daging biasanya pas awal Ramadhan dan hari raya haji.
Dibikin rendang ditemani sambal balado plus lalapan.
Mak Nyooss...
Aku belum berhasil masak rendang, mba. Masih harus usaha keras. Hehehe. Oh ya, ditunggu tulisan di Arabnya ya mba :)
Reply Deletembaaa pas banget nih.. saya kemarin habis dari BI, dan ternyata pegawai BI ga tau menau tentang pajak ini. rasanya tuh pengen nyubittt orang BInya rrr..
Reply DeleteWah... mungkin belum tersosialiasi luas kali ya, mba. Smoga aja peraturan itu dcabut. :). Makasih udah mampir mba
Reply DeleteWaduuuh untung saya ga ngerasain imbas harga daging nih, kurang begitu suka soalnya... bukan soal diharganya, tapi ini menyangkut ketahanan gigi hehehe.
Reply DeleteHihiii iya sesekali nggak papa, mba. Hehehhe. Soalnya menyangkut ketahanan duit juga sih yaa. Hhehehe. Makasih sudah berkunjung mba
Reply DeleteIya aneh banget. DUlu harga daging 100rb kayak keadaan darurat aja, pemerintah bilang karena banyak pungli jadi pungli dibasmi biar harga turun. Lha sekarang disini malah 130rb. Jadi kapan turunnya?
Reply DeleteIya, mba Lusi. Ingat pas lebaran atau pas daging mahal wah inspeksi menteri. Kini harga masih mahal ..
Reply DeleteEhmm..pantas saja kalo beli daging rendang itu dapatnya keciiil bgt. Klo harga udah naek pasti susah turunnya
Reply DeleteIyaa, mba. Makanya lebih murah kalau masak sendiri, mba Siethi :). Makasih mba
Reply Deletepajak sebagai pemakmur rakayat :D atau oarang2 tertentu ia heeee
Reply Delete