Sebagai
jurnalis, saya kerap melakukan peliputan politik. Sejak 2006, saya lebih banyak
melakukan peliputan di salah satu partai politik. Namun bukan berarti saya
tidak melakukan peliputan di partai politik lain. Namun porsi terbanyak memang
di salah satu partai politik itu. Berbagai kegiatan yang dilakukan di partai
politik itu saya ikuti. Saya ingat tahun 2006, di undang meliput di kawasan Cibubur,
Jakarta Timur. Undangan meliput pada pukul 07.00 WIB, namun janjian dengan
rekan narasumber ke lokasi pada pukul 06.00 WIB. Liputan itu tentang kampanye
akbar di bumi perkemahan. Sialnya, saya ketiduran di kantor karena semalam
deadline mengerjakan penugasan. Hmm, saya sih memang sering tidur di kantor dan
itu hal biasa di tempat saya dulu. Saat ditelepon, saya terkejut melihat jam
yang melingkar di tangan. Tanpa mandi dan hanya sikat gigi dan ganti baju, saya pun
meluncur ke tempat janjian dengan narasumber. Saya bersyukur berhasil tampil
rapi dan sopan di hadapan narasumber. Maafkan ya .... . Jujur, saya orang yang
selalu tepat waktu saat liputan. Tapi waktu itu, saya khilaf ...
Kerap
melakukan meliput di satu partai politik membuat saya memiliki akses untuk melakukan
peliputan mendalam. Melakukan wawancara dengan konstituennya, para pengurus dan
ketua saya bisa lalui. Jika ada rencana kegiatan, saya pun selalu dikabari. Apabila
saya membutuhkan nomor telepon salah satu pengurus, saya kerap di bantu. Maklum,
kebutuhan untuk meliput cepat dan tepat selalu menjadi rutinitas. Namun bukan
berarti kerap meliput saya tidak seimbang dalam peliputan. Ketika partai
tersebut sempat ‘terbelah’ saya melakukan wawancara dengan pihak pro dan
kontra. Tanpa terbebani dengan praduga “Nanti kalau saya wawancara si A, si B
ngggak bakalan mau saya liput lagi”. Tapi saya ingat saat melakukan wawancara
dengan pihak kontra, saya diajak ngobrol ngalur-ngidul hingga dua jam sebelum
narasumber ini mau berbicara sesuai dengan penugasan saya. Namun sejak dia
mengetahui saya netral, dia kerap memberikan informasi kepada saya. “Mba Alida,
sudah tahu belum kalau ....,” bunyi pesan pendeknya kepada saya.
Bagi
saya, melakukan peliputan partai politik jurnalis tetap harus netral. Menolak pemberian
uang atau barang yang dapat mempengaruhi pemberitaan. Sejak dulu dan hingga
kini, saya tidak pernah menerima pemberiaan uang atau barang dari partai
politik yang saya liput. Reputasi dan dedikasi adalah ‘harga mati’ yang harus
dipegang seorang jurnalis.
Oh ya, untuk besok, jangan ragu memilih. Pergunakan hati nurani dan akal sehat.
Sumber foto : http://www.antarasumbar.com/
yang susah itu memang netral itu ya mbaa.. saya liat kok banyak bgt jurnalis yang memihak satu sisi saja
Reply DeleteHallo mba, mungkin ada. Tapi kalau dikatakan banyak saya tidak tahu berapa jumlahnya. Memang sulit tapi seharusnya ini bisa dilakukan karena jurnalis bekerja untuk informasi kepada masyarakat. Terima kasih sudah mampir, mba :)
Reply DeleteApa lagi sekarang memang tergantung sama atasannya ada yg ikut gabung di parpol...dijamin berita jadi nggak berimbang huhu
Reply Delete