Setiap
orang memiliki kisah tersendiri saat pertama kali menggunakan hijab. Demikian
pula saya. Semua berawal saat penugasan peliputan pondok pesantren yang
terdampak lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur pada 2005. Nah, saat
mengetahui akan meliput di kawasan pondok pesantren, saya pun menggunakan
pakaian muslimah. Saya masih mengingat hijab kala itu. Warna putih dengan renda
di sisi kiri dan kanan. Tiba di lokasi, saya terkaget-kaget karena pondok
pesantren yang akan saya liput teryata tidak ada. “Hanya tersisa atapnya saja,
“kata seorang pria sambil menunjukkan atap bangunan berwarna biru. Usai
melakukan liputan saya pun bergegas kembali ke kantor. Hijab masih terpasang di
kepala saya. Tak mungkin saya melepasnya begitu saja. “Hijab ini akan selalu
terpasang di kepala saya,” kata saya dalam hati.
Setiba
di kantor, teman-teman bereaksi beragam. Ada yang senyum, ada yang tertawa ada
juga yang berkara “Wah ada pocong,” kata salah satu teman saya. Duuuhhh … Saya
hanya tertawa dan bergegas keluar biar tidak menjadi sasaran ledekan
teman-teman. Namun sejak itu, saya kemudian merasa mantap menggunakan jilbab.
Awal
menggunakan jilbab, mama saya membelikan jilbab paris berwarna biru. Harganya
saya ingat betul, yakni Rp 40 ribu. Jilbab paris itu saya gunakan dengan model
yang simpel saja. Jilbab dirapikan menggunakan tangan, pakai peniti dan jilbab
saya pun jadi. Model jilbab itu saya gunakan sehari-hari.
Nah,
saat ramainya jilbab beraneka model, saya pun tertarik. Buku yang berisikan
beraneka model jilbab pun saya beli. “Bosan juga pakai model jilbab yang
begitu-begitu saja,” pikir saya kala itu. Usai membeli jilbab, di rumah saya
pun mempraktekkannya. Saya mencoba hingga empat model jilbab agar bisa
digunakan sehari-hari. Usai mempraktekkan, saya memotret hasil karya saya.
Hanya untuk dikonsumsi pribadi. Bukan di pajang di media sosial. Hihiii
Saat
pergi bersama keluarga, saya mencoba mempraktekkan hasil karya saya.
Menggunakan ciput ninja warna hitam, saya pasangkan jilbab paris berwarna
merah. Senada dengan warna baju. Jarum pentul saya gunakan di kiri dan kanan
hijab. Merasa sudah pas, saya pun percaya diri pergi bersama keluarga. Tapi, jilbab
karya saya teryata tak bertahan lama. Di sisi kiri agak melorot jilbab bagian
luarnya. Sedangkan di sisi kanan jilbab, rambut sedikiti terlihat. Duh, saya
menjadi tak nyaman. Suami pun berkata singkat “Ummi itu jilbabnya gimana tuh”.
Alhasil, saya pun terpaksa bolak balik bercermin untuk melihat apakah jilbab
saya sudah rapi atau belum.
Dengan
jadwal kerja yang lebih banyak di lapangan, tentu saya membutuhkan model jilbab
yang sederhana dan nyaman digunakan. Lagi-lagi saya kembali menggunakan jilbab
segiempat yang dibentuk hanya dengan peniti. Namun, saya kembali tergoda
menggunakan jilbab aneka warna saat melintas sebuah toko di kawasan Depok, Jawa
Barat.
Warnanya
yang beraneka ragam dan model yang beraneka rupa membuat saya tertarik. Harganya
kala itu Rp 100 ribu untuk tiga buah jilbab. Harga yang menurut saya masih
wajar. Saya gunakan jilbab dengan peniti dan satu jarum pentul. Dan model itu
yang bertahan hingga kini. Tak hanya itu saja, saya kini masih menggunakan
hijab segiempat yang model sederhana. Jujur, saya kuatir jika menggunakan
jilbab yang harus menggunakan peniti, bisa menganggu orang. Maklum, sebagai
pengguna commuterline kerap berdesak-desakan. Kalau ada peniti yang nyembul dari jilbab dan terkena orang?
Duhh… jangan sampai deh.
Lalu,
apakah saya tidak tertarik menggunakan hijab syar’i? Saya tertarik. Saya senang
sekali melihat perempuan menggunakan gamis panjang dan jilbab yang panjang
menutup dada. Namun hingga kini saya masih belum bisa melaksanakan. Sehari-hari,
saya masih menggunakan jilbab dengan baju lengan panjang dan celana jeans. Saya
masih merasa nyaman menggunakan jeans karena masih terasa bebas untuk
beraktivitas. Mengejar kereta, naik motor rasanya lebih praktis jika
menggunakan celana. Itu menurut saya. Walaupun saya sering melihat mulismah
yang menggunakan hijab syar’i tapi tak kerepotan saat di transportasi umum.
Memang semua berawal dari niat.
Eh
tapi, seringkali saya juga menggunakan gamis dengan jika bersama keluarga atau
acara pengajian. Bagi saya,pilihan gamis saat ini lebih beragam. Padahal dulu,
tak mudah mencari gamis seukuran badan saya yang tergolong imut. Hanya saja,
saya masih sering takjub dengan busana muslim syar’i yang harganya semakin
selangit. Kebanyakan di atas Rp 200 ribu hingga jutaan rupiah untuk gamis plus
jilbab. Memang, ada juga busana muslim yang harganya di bawah harga Rp 200
ribu. Dan busana muslim yang harga di bawah Rp 200 ribu itulah yang saya pilih.
Bagi
saya menggunakan busana muslim syar’i atau apapun semua berawal dari niat. Berjilbab
tapi masih menggunakan celana jeans atau memilih busana muslim syar’I semua
wajar saja. Asalkan dilakukan dengan pilihan tanpa tekanan dan tanpa menghakimi
pilihan orang lain. Semua melalui proses. Mungkin awalnya sekedar menutup
rambut, perlahan memperbaiki busana muslim yang menutup aurat. Saya kuatir, jika
ada muslimah yang baru saja menggunakan jilbab, lalu dikritis habis-habisan
(jilbboss kek, kayak lontong dan segala umpatan lain), muslimah itu akan
berpikir seribu kali untuk memperbaiki baju muslimah yang baik. Sebaiknya,
dituntun pelan, diajak baik-baik untuk menjadi semakin baik. Sama seperti para
perempuan yang menggunakan jilbab, saya pun masih belajar.
Belajar
memperbaiki keimanan. Belajar menggunakan baju muslimah yang baik. Belajar shalat
tepat waktu dan tak bolong-bolong. Serta belajar agar mata dan hati tidak
berkata nyinyir saat ada yang belum berjilbab dengan baik. Belajar agar tak
hanya kepala saya yang berjilbab tapi juga hati. Semua berawal dari niat,
pilihan menggunakan jilbab yang nyaman.
Tulisan ini untuk disertakan dalam Giveaway Hijab Nyaman Di Hati :)
Posting Komentar