Bagi saya,
menggunakan commuterline memperpendek jarak, menghemat pengeluaran. Maka,
hampir setiap hari saya menggunakan commuterline dari stasiun Universitas
Indonesia menuju Tanah Abang lalu disambung ke Palmerah. Ya, hampir setiap
hari. Dan menggunakan CRL (commuterline)
akan penuh dengan para penumpang.
Saat CRL datang,
saya harus menahan napas ketika mengetahui di dalam CRL teryata penuh sesak.
Menunggu CRL lain datang, bisa 10-15 menit lagi. Itu kalau anda beruntung.
Tapi, saya terkadang memilih untuk menggunakan CRL yang tiba terlebih dahulu. Penumpang
harus memaksakan diri untuk masuk ke dalam CRL. Mendengarkan teriakan karena
ada yang merasa sesak? Ah, itu sudah biasa. Ketika posisi berada di depan pintu
CRL, saya harus berhati-hati pintu tidak akan tertutup. JIka pintu CRL tidak
tertutup, maka CRL tidak akan tertutup. Maka, terkadang ada juga penumpang yang
berpegangan di atas pintu, mendorong badannya ke belakang hingga pintu
tertutup.
Pintu tertutup, CRL
pun melaju. Berada di dalam CRL, panasnya terasa. Pendingin udara tak lagi
terasa. Keringat pun bercucuran. Tak mungkin menggunakan kertas untuk
mengkipasi tubuh. Mengapa? Bergerak saja susah! Maka, yang bisa dilakukan
adalah diam, pasrah. Padahal di dalam CRL seharusnya terasa dingin. Apalagi
ditambah kipas angin. Tapi percayalah, dalam keadaan penuh sesak, angin pun hampir
tak terasa. Tak heran, beberapa kemudian ada yang memilih membuka jendela CRL
agar angin masuk ke dalam CRL. Cara ini tergolong jitu untuk menambah
kesejukan. Tapi itu akan berguna jika berada di depan jendela. Jika tidak, saya
ucapkan selamat berkeringat.
Masalah kembali muncul
saat hendak keluar dari CRL. Bagaimana kelua pada saat kereta panas dan penuh
sesak? Pertama, minta ijin terlebih dahulu kalau akan keluar. Biasanya,
biasanya loh masih saja ada yang dengan rela membiarkan badanya penuh himpitan
agar penumpang lain bisa keluar. Tentu saja sambil menahan sakit karena
terhimpit.
Saya selalu sedih
jika ada ibu hamil, orang tua atau anak kecil yang akan masuk ke dalam CRL yang
penuh sesak. Saya tahu, jika mereka boleh memilih, mereka pasti akan
menggunakan taksi, mobil pribadi atau sarana transportasi lain yang lebih
nyaman dibandingkan CRL yang penuh sesak. Tapi itu jika mereka ada pilihan.
Bagaimana kalau mereka tak ada dana untuk menggunakan transportasi umum
lainnya? Sayangnya, tak semua penumpang CRL menyadari kalau ada keterbatasan
itu. Alhasil, masih ada ibu hamil yang terpaksa berdiri dan baru bisa duduk
jika ada yang berteriak, ”ada ibu hamil kasih tempat duduk”. Begitulah. Tapi
saya pernah berulangkali minta agar ibu hamil dikasih tempat duduk, tapi ini
tidak digubris. Saya mempertanyakan kepekaannya. Seolah sudah mati rasa. Tapi,
itulah yang terjadi.
Saya salut dengan
mereka, masih tetap saja menggunakan CRL. Tetap saja bekerja, menempuh
perjalanan dengan kondisi yang sangat tidak nyaman. Tapi saya tidak tahu,
apakah mereka memiliki pilihan atau tidak. Menurut anda?
கருத்துரையிடுக