Merasakan
hembusan angin sepoi-sepoi kala tidur di pasir putih sambil mendengarkan bunyi
ombak, ah betapa nikmatnya. Itulah yang saya rasakan September 2015 saat
berkunjung ke Pantai Liang yang terletak di Desa Liang, Kecamatan Salahutu,
Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Sepanjang mata memandang, hanya terlihat
air yang bersih bening. Tak ada sampah
seperti pantai-pantai lain yang saya kunjungi. Kalaupun ada, hanyalah daun yang
tertiup angin, jatuh di hamparan laut. Pantai Liang memang menawarkan
pemandangan alam yang mempesona. Pantai ini pernah dinobatkan oleh UNDP sebagai
pantai terindah di Indonesia tahun 1990.
Dari
Ambon, saya sekeluarga menggunakan mobil sewaan selama satu jam untuk menempuh
perjalanan sejauh 40 kilometer. Satu hari, mobil disewa dengan harga Rp 500
ribu sudah termasuk sopir. Sebelum tiba di pantai Liang, kami melewati pantai
Natsepa. Pantai Natsepa juga menawarkan pemandangan laut yang indah, namun kami
memilih melanjutkan perjalanan ke pantai Liang. Tiba di pantai Liang pukul
14.00 WIT, tampaknya masih terlalu panas untuk berenang. Teriknya matahari di
Ambon, terasa menyengat. Ah, saya tak bawa sunblock.
Sambil menunggu panas agak reda, kami memilih makan pisang goreng dipadu sambal.
Eh, makan pisang goreng sama sambal? Ya, di Ambon, sejak kecil sudah terbiasa
makan pisang goreng atau singkong goreng dipadu sambal. Rasanya nikmat karena
baru digoreng. Pedas-pedas gurih. Nah, pisang goreng ini bisa dengan mudah
ditemui di pantai Liang. Harganya hanya Rp 1000 per biji. Bisa ditebak, hanya
dalam hitungan menit pisang goreng pung lenyap tak bersisa.
Usai
makan pisang, segera saja kami memilih berenang di laut. Rasanyaaaa … hmm
segar. Airnya yang bening, membuat kami betah berenang. Ya, walau tak jauh-jauh
dari bibir pantai berenang terasa menyenangkan. Walau tak membawa ban renang,
tak perlu ragu karena bisa disewa dengan harga Rp 10 ribu. Oh ya, jangan lupa
naik di jembatan pantai Liang. Jembatan ini kerap dijadikan ajang foto-foto
atau banyak juga yang memilih lompat dari atas jembatan itu ke laut.
Ke
pantai Liang, tak lengkap jika tak memakan rujak. Rujak di pantai Liang
memiliki khas kacang gorengnya lebih banyak. Kacang yang goreng hanya diulek
kasar. Jumlah kacang pun lebih banyak daripada gula merah. Rasanya gurih manis
karena kacang dipadu dengan gula merah. Untuk satu porsi rujak harganya Rp 10
ribu. Porsinya menurut saya terlalu sedikit karena kenikmatannya buat nambah
dan nambah lagi. Bagi saya, rasanya semakin nikmat jika menggunakan cabai. Habis
makan pisang, kami kembali berenang.
Merasa
cukup berenang hampir dua jam, kami pun segera bilas badan. “Ayo dek mandi
dulu,” kata saya kepada Ayyas. “Emang mau mandi dimana,” kata mama Su, tante
saya. Ya tentu saja saya bilang mandi di kamar mandi. Namun mama Su mengatakan
kalau tak ada air sehingga tak mungkin bilas. Tak percaya, saya pun ke kamar
mandi. Di depan kamar mandi berjejer dirijen-dirijen yang bisa menampung 5
liter air. Teryata, jika ingin bilas harus membeli air seharga Rp 2000 satu
dirijen. Itu belum termasuk ongkos masuk kamar mandi seharga Rp 2000. Di dalam
kamar mandi yang amat sederhana, tak ada penerang. Gelap, lembab dan kotor.
Pasir bertaburan di lantai-lantai kamar mandi. Tak ada perbedaan antara kamar
mandi pria dan perempuan. Sehingga saya kaget saat ada pria di dalam kamar
mandi. Ayyas hampir saja tak mau bilas di kamar mandi, namun akhirnya mau. Dan
saat mandi, ada laba-laba berukuran raksasa. Terburu-buru, kami pun bilas
sesegera mungkin. Sayang ya, pantai dengan pemandangan luar biasa indah tapi
kamar mandinya seperti itu.
Setelah
dari pantai Liang, kami tertarik melihat morea (belut raksasa) yang berada di
Desa Wai. Jarak darI Desa Liang ke Desa Wai hanya ditempuh dalam waktu 15
menit. Tiba di lokasi hanya ada papan bertuliskan “Selamat Datang di Air
Waiselaka” dan bergambar morea. Teryata morea-morea ini ni berada di kolam air
jernih dengan air setinggi 30 centimeter. Morea ini tampak asyik bermain
walaupun banyak ibu-ibu yang mencuci bajunya di sekitarnya. Saya sempat heran,
apakah air sabun tidak akan merugikan kesehatan si belut? Tampaknya, hal ini
sudah menjadi kebiasaan. Kami juga mendapat kesempatan melihat morea makan
telur oleh pawangnya. Oh ya, bagi pengunjung diharapkan memberi uang seadaanya
untuk pemeliharaan morea itu. Puas berjalan-jalan, sepanjang jalan pun kami
tertidur. Dalam tidur kami berharap akan kembali ke pantai Liang. Harapan yang diharapkan
menjadi kenyataan.
Posting Komentar